Pelajaran Berharga dari Sebuah Perjalanan

April 12, 2016

Menikmati perjalanan sendirian ternyata cukup menyenangkan. Buat saya, melakukan perjalanan secara solo adalah pembuktian atau setidaknya challenge kalau saya mampu berdiri di kaki saya sendiri meskipun jauh dari kampung halaman.

Berbagai macam pertanyaan seringkali dilontarkan saat teman online maupun offline tau saya sering berpergian. "Apa tidak takut?" atau misal "kok orang tuamu ngasih ijin sih?" dan pertanyaan ekstrem yang terkadang menyentil sisi sensitif saya, seperti "nekat banget sih, apa yang kamu cari sebenernya?".

Baiklah, saya akan jawab satu persatu ya.

Apa tidak takut?


Takut. Tapi cuma sebentar saja, misalnya saat melihat wajah orang tua saya saat pamitan. Hal yang selalu ada dalam pikiran saya ketika akan berpergian adalah 'masih bisa gak ya nanti ketemu mereka?'. Setelah itu yasudah selesai, toh semua yang pergi akan kembali pulang. Entah pulang kemana.

Kok orang tuamu ngasih izin, sih?


Seperti halnya orang tua pada umumnya, awalnya bapak dan ibuk tidak mengizinkan saya pergi terlalu jauh. Alasannya klasik "kamu perempuan!". Memang sejak kecil hingga SMA saya hampir tidak pernah berpergian sendiri jika keluar Kediri, selalu didampingi orang tua atau saudara. Begitu juga saat mereka melepas saya untuk menuntut ilmu di Malang, katanya tak tega. Saya jadi ingat perjalanan pertama saya tanpa orang tua adalah Madura, saya berpergian bersama mba Tiwwi dengan naik bus lanjut kapal.  

Baca juga : Menuju Madura

Perlu waktu lama sekali meyakinkan bapak ibuk kalau saya akan baik-baik saja, apalagi setiap perjalanan selalu ada hal positif yang saya dapat.

Pada akhirnya bapaklah yang meyakinkan saya kalau saya ini harus punya banyak pengalaman selagi muda, jangan sampai menyesal nantinya. Sebetulnya, benar ungkapan "jangan cuma di rumah saja", soalnya sekali keluar rumah kamu akan mendapatkan pengalaman baru paling tidak supaya sedikit lebih open minded, gak ngeyelan, dan kurang piknik.

Nekat banget sih, apa yang kamu cari sebenernya?

 
"Beda kepala, beda isi", kayak gitu kira-kira. Jadi apa sih yang saya cari dari semua perjalanan ini ? Jawabannya adalah "kepuasan diri". Kepuasan kok dicari, gak bakalan terpenuhi. Iya sih, cuma setidaknya sesuatu yang saya inginkan bisa tercapai meskipun tidak maksimal, ya paling tidak mendekati. Dalam pikiran saya sih, mumpung masih muda jadi saya harus cari pengalaman sebanyak yang saya mampu. Soalnya semakin bertambah usia kesibukan akan semakin padat dan hal lainnya yang belum terpikirkan oleh saya.

Contohnya, seperti kemarin saat saya melakukan perjalanan sendiri ke Bojonegoro. Sebelumnya saya belum pernah datang ke Bojonegoro dan kali ini saya berpergian sendiri ke daerah yang memiliki makanan khas ledre itu dengan menggunakan moda transportasi bus. Takut? Jelas. Was-was? Iya. Parno ? Sangat.

Apalagi kemarin saya sempat spaneng karena ketinggalan bus. Nah ini yang baru saya tahu, transportasi bus atau kereta dari Kediri ke Bojonegoro itu tidak ada yang direct, otomatis harus oper dulu. Jadi jika ingin ke Bojonegoro bisa via Nganjuk atau via Jombang. Jika ingin lewat Nganjuk rutenya Kediri- Nganjuk- Bojonegoro artinya 2 kali oper bus, jika ingin lewat Jombang maka Kediri- Pare- Jombang- Babat- Bojonegoro artinya 3 kali oper. 


Nganjuk : Naik bus dari terminal Kediri ke terminal Nganjuk lalu dilanjutkan ke terminal Bojonegoro. 
Jombang : Naik bus dari terminal Kediri ke terminal Jombang, pindah bus ke Babat, dari Babat naik bis lagi Bojonegoro.

Lebih cepat lewat Nganjuk ya sebenarnya, tapi ternyata bus dari Nganjuk ke Bojonegoro hanya ada sampai pukul 15.15 saja. Selebihnya tidak ada. Begitu juga sebaliknya, bus dari Babat ke Jombang juga tidak ada setelah ashar.

Awalnya saya berpikir, kenapa ya kok moda transportasi umum tidak selalu ada dari ataupun ke Bojonegoro ? Jawabannya adalah karena Bojonegoro tidak dilewati jalan Daendles atau jalan raya utama. 

Awalnya mula saya bisa ketinggalan bus saat di Nganjuk begini, pukul 12.00 bapak sudah bilang ke saya untuk segera siap-siap, takutnya nanti kemalaman sampai di Bojonegoro. Tapi saya masih santai-santai karena cuaca di luar rumah panas sekali. Pukul 13.00 saya baru siap-siap dan sampai di terminal Kediri sekitar pukul 14.00, sepeda motor saya titipkan di parkiran terminal. Sebelum naik bus, saya memutuskan untuk makan soto ayam Mbok Idjo dulu. Jaga-jaga kalau misalnya di bus tidak ada penjual makanan.


Bapak menyarankan untuk memberi tanda pada ban motor, antisipasi jika ada yang sengaja menukar saat di parkiran. Klise, freak, kok nemen. Itulah yang ada di pikiran saya saat bapak menyarankan saya memberi tanda dan memotretnya. Tapi kemudian saya berpikir, idenya betul juga. Kalau seandainya kejadian kriminal terjadi, saya bisa klaim. Untungnya saat pulang ban motor saya tetap aman. Alhamdulillah.

Perjalanan dilanjutkan naik bus Kawan Kita ke Nganjuk dengan tarif Rp 10.000, selama perjalanan saya ditemani dengan musik dangdut tiada henti. Ohya, ini pertama kalinya saya naik bus ke Nganjuk. Sesampainya di terminal Nganjuk sekitar pukul 15.30, turun dari bus saya ditanya oleh seorang calo.

Calo : "Mau ke mana mbak ?"

Saya : "Bojonegoro, pak"

Calo : "bisnya sudah jalan 15 menit yang lalu mbak"

Saya : "Bus selanjutnya jam berapa ya pak ?"

Calo : "Itu tadi bis terakhir, mbak"

Kemudian saya diam dan berpikir. Melihat saya berpikir, calo tadi mengambil kesempatan menawarkan jasa ojek untuk mengejar bus terakhir ke Bojonegoro, disinilah perdebatan terjadi dan saya sempat jengkel.

Awalnya saya tertarik dengan penawarannya, lalu saya tanya berapa tarifnya (belajar dari pengalaman sebelumnya, suka keblondrok-kemahalan kalau gak tanya harga dulu). 

Saya : "Berapa pak ngojek?"

Calo : "ya seratus ribu aja mbak"

CELEGUK!

Saya : "Itu ngojek naik mobil, pak ?"

Calo : "Naik motor mbak"

Saya : "Mahal pak, ndak jadi"

Calo : "Lha mbak maunya berapa?"

Saya : "Ini ngejar bus yang pergi 15 menit yang lalu, kan?" saya memastikan.

Calo : "Iya mbak, lha sudah jauh busnya"

Saya : "Masih dekat itu pak, kok mahal banget"

Calo : "Ya mbak maunya berapa?"

Saya : "dua puluh ribu kalau mau"

Calo : "wah gak bisa mbak, biasanya juga seratus"

Saya : "mboten pun pak, suwun"

Sebetulnya saya masih bingung, tapi bapak calo tadi masih terus menawarkan jasanya meskipun saya sudah menolak. Salah saya sendiri sih, kalau memang tidak berminat harusnya tidak perlu tanya-tanya. Dalam kebingungan, ternyata otak saya masih bisa diajak kompromi. Saya telpon kak Didik teman yang ada di Bojonegoro dan mendapat solusi kalau sebaiknya saya naik bus ke Jombang. 

Tidak lama kemudian bus ke Jombang hampir berangkat, saya lari supaya tidak ketinggalan. Saya lupa busnya apa, tarif dari Nganjuk ke Jombang Rp 7.000. Saat sampai di terminal Jombang saya harus menunggu beberapa saat, ternyata bus yang akan saya gunakan untuk menuju Babat adalah Puspa Indah. Ew. Lalu saya baru ingat kalau Babat itu Tuban dan Puspa Indah adalah satu-satunya armada yang melintasi trayek Tuban- Malang. Oh tapi sekarang sudah ada bus Bagong, hanya saja saya kurang tau apakah Bagong juga menambah trayek ke Tuban.

Seperti halnya bus Pupsa Indah pada umumnya, bus kecil dengan sopir yang memiliki kekuatan ekstra seperti kuda binal melewati jalur Jombang- Babat dengan sangat istimewa, lagi-lagi ini adalah pengalaman pertama saya lewat jalur ini, kondisi jalan berkelok seperti di Malang, namun bergelombang dan rusak. Tarif naik bus Puspa Indah dari Jombang ke Babat Rp 15.000. 

Saat maghrib tiba, saya masih ada di tengah hutan rute Jombang- Babat. Sesampainya di Babat saya bertanya ke bapak penjaga pos, kemudian saya diarahkan ke sisi barat untuk menunggu bus dari Surabaya ke Bojonegoro. Beruntung sekali saya bertemu dengan seorang ibu yang baik hati, selanjutnya kita sebut Ibu Bojonegoro saja, mungkin beliau melihat ada sosok perempuan kecil dengan tas ransel super penuh bonus muka kucel dan lelah naik bus sendiri. Saya ditanya akan pergi ke mana, dan dari mana. 

"saya mau ke terminal Bojonegoro, bu. Rumah saya di Kediri"

Bus menuju Bojonegoro sampai, tidak saya sangka ibu tersebut mengamit pergelangan tangan saya dan menarik saya untuk segera naik bus. WOW! Busnya penuh sekali sampai kami berdua tidak mendapat kursi. Kami berdiri dengan posisi ibu tersebut di depan dan saya dibelakangnya. 

Saya : "Bayar berapa, buk?"

Ibu Bojonegoro : "tujuh ribu, neng".

Saya mengeluarkan uang dengan pecahan lima ribu dan dua ribu. 

Ibu Bojonegoro : "kamu bayar lima ribu saja"

Tapi saya tetep kasih 2000 ke ibu tersebut, tapi beliau menolak dengan membimbing tangan saya memasukkan uang 2000an ke dalam kantong tas saya di sisi kiri. Kondektur datang dan saya kena bagian di-go-da-in. 

Kondektur : "Mau ke mana, sayang?"

Tanpa menjawab, saya menunjuk ibu sebelah saya.

Ibu Bojonegoro : "terminal"

Kondektur : "anaknya bu? cantik kayak ibunya"- kemudian berlalu ke depan untuk menarik tarif.

Setelah kondektur pergi, ibu Bojonegoro tersebut bilang ke saya "terlalu banyak omong dia", saya hanya tersenyum saja. Tak lama kemudian ada penumpang turun dan ibu tersebut mempersilakan saya untuk duduk, tapi sebagai anak muda yang masih perkasa saya nolak dong, lalu mempersilakan beliau duduk. Nah, selang beberapa menit saja, penumpang yang duduk di kursi depan saya turun dan akhirnya saya bisa duduk. Rejekinya anak sholehah kan.

Ternyata, ibu tersebut benar-benar baik. Saat kami sampai di terminal Bojonegoro pun, beliau masih menunggu saya dan gandeng tangan saya. Saat sudah turun bus, beliau memastikan kalau saya sudah ada yang jemput. Kemudian kami berpisah dengan saling mengucapkan salam. 

Sampai di terminal, mbak Rahmah beserta suami sudah menunggu saya dan kami sama-sama menunggu jemputan dari teman-teman Bojonegoro.

Jadi pelajarannya adalah :

1. Selalu berpikir positif di manapun berada,
2. Jangan panik saat menghadapi permasalahan,
3. Harus mencari informasi detail ketika akan melakukan perjalanan,
4. Selalu siap sedia uang kecil (pecahan 2000, 5000, 10.000, 20.000) dan recehan untuk persediaan penyanyi bus,

Cerita keseruan, #RoadblogBojonegoro di post selanjutnya, ya!



You Might Also Like

12 comments

  1. Bismillah gak akan ada apa-apa ya pi walau sendiri. Semangat terus ah

    BalasHapus
  2. ulasannya bagus, maakasih udah berbagi pengalaman

    BalasHapus
  3. selalu ada kenikmatan dari jalan2 sendirian.
    tapi jgn lupa hati2 ya sil

    BalasHapus
  4. seneng ya ketemu ibu2 di jalan,baik pula,alhamdulillah...aku dulu sering mbolang pas masih kuliah dna ngajar di malang. Mbolangnya selalu sendiri,seru aja rasanya...

    BalasHapus
  5. Bener banget mbak kalo bepergian jauh itu yang terpenting harus bawa uang recehan, soalnya banyak pengamen mbak, makasih mbak telah memberikan pengalamannya :)

    BalasHapus
  6. pengalaman yang menarik, maksih dah udah berbagi, kita tunggu pengalaman2 selanjutnya

    BalasHapus
  7. benar sekali.. perjalanan sendiri itu memiliki kepuasan tersendiri, dan gak ribet juga

    BalasHapus
  8. Wah sesuk ki aku lolos seleksi melu kopdar blogger jatim. Brosing bis nganjuk bojonegoro eh nyasar ning blogmu haha

    Mbuh sido budal gak ya. Aku wedi kekeselen.

    BalasHapus
  9. ceritanya keren sekali.. iku sing dimaksud kak didik jatmiko ya?

    BalasHapus
  10. ceritanya keren sekali.. iku sing dimaksud kak didik jatmiko ya?

    BalasHapus
  11. Alhamdulillah kasusnya persis yang saya alami. Bingung mencari bis arah Bojonegoro. Terjawab sudah. Terimakasih. Sangat bermanfaat.

    BalasHapus

Keep Blogwalking!

BLOGGER PEREMPUAN

Blogger Perempuan

KUMPULAN EMAK BLOGGER

BLOGGERHUB