Siang- siang bicara soal kenangan, rasanya tubuh dibawa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu yang bernama ingatan. Kalau mau mengenang caranya cukup dengan diam, terpaku dan mengenang. Hmm. Jadi kangen dan pengen balik ke masa lalu nih jadinya. Keingat masih dimandiin waktu mau berangkat sekolah, di sekolah isinya cuma main- main aja, gak ada beban hidup, gak ada yang dipikirkan, gak ada patah hati. Isinya ya cuma senang- senang.
Apalagi aku ini termasuk generasi 90-an yang katanya generasi terakhir yang merasakan kebahagiaan, sebelum era teknologi modern datang menyerang. Tapi menurutku, itu sih klaim generasi angkatan sekian yang gak rela karena menyadari ternyata mereka semakin dewasa(tua). Hehe. Beda masa ya beda produk, beda era beda lagi trendnya. Kalau dulu eranya mainan di luar rumah, sekarang eranya main di dalam rumah.
Tapi aku merasa beruntung karena masih bisa merasakan omelan ibuk setiap pulang main karena baju kotor atau pulang kesorean. Masih bisa merasakan banyak hal yang gak mungkin dilakukan lagi di zaman sekarang karena kesibukan, sibuk cari uang buat nikah kayaknya sih. Atau bahkan karena gak ada partner main yang seumuran. Pada akhirnya, ya cuma bisa diam, terpaku, dan mengenang.
Kalau boleh cerita, masa kecilku itu bandel banget. Lebih suka main daripada belajar, lebih suka tiduran di bawah pohon rindang belakang rumah atau di atas jerami bakal pangan hewan peliharaan di kandang. Daripada tidur siang di kasur dengan kipas angin berputar.
Sebelum ngehits acara adventure, dulu aku juga sudah menjelajah seluruh desaku dengan jalan kaki. Mulai dari cari daun yang bisa dikelupas biar bisa buat bola- bolaan, cari melinjo, nyolong bengkoang, ikut teman angon kambing di lapangan. Makanya, aku sekarang suka malu kalau ada tetanggaku yang buka- buka aib di masa kecilku pas kami lagi ketemu.
Kalau boleh sombong "aku ngehits banget lah dulu itu".
Sebagai anak ngehits di zamannya, aku juga suka sekali bermain bersama teman. Mulai dari bola bekel, rumah- rumahan, barbie, bola kasti, gobak sodor, dakon (congklak), petak umpet, masak- masakan, lompat tali, layangan, egrang, ular naga, patil lele, gejlik, cirak (kelereng), dan masih banyak lagi.
Tapi yang paling favorit adalah main cirak atau kelereng. Aku biasa main cirak di rumah uti karena di sana ada saudara- saudaraku dan banyak anak lainnya. Maklum di sana masih desa. Meskipun di setiap permainan cuma aku yang perempuan, tapi nyaliku gak ciut. Sistem main cirak seperti main judi. Kita menyumbang kelereng sesuai kesepakatan, lalu diatur berbaris ke belakang, ada kepala, badan, serta ekor. Tentunya setiap kelereng diberi jarak, seingatku jaraknya satu jengkal.
Semua yang ikut permainan harus membidik barisan kelereng itu dengan satu kelereng andalan. Penentuan siapa yang harus main pertama dan selanjutnya dengan cara hompimpa, suit atau wo dowo (njang panjang) - menggunakan tangan kanan, gerakan lurus dan tekuk. Lagunya "wo dowo sing dowo menang"-. Lalu jika ada yang sama ditentukan dengan suit.
Kalau barisan kelerengnya panjang beruntung sekali yang bisa main pertama, karena punya kesempatan besar untuk membidik kepala. Tapi banyak juga yang missed karena setiap kelereng terdapat jarak yang lumayan lebar.
Jika pemain pertama membidik lalu kena kepala, itu artinya seluruh barisan kelereng tersebut sah jadi milik pemain pertama, lalu permainan selesai. Jika pemain pertama mendapat bagian badan atau leher dan masih ada sisa kelereng, permainan masih dilanjutkan dengan pemain kedua, ketiga, dan seterusnya sampai pemain terakhir. Tapi, kalau pemain terakhir masih gak bisa menghabiskan kelereng, maka akan diisi lagi dengan kelereng baru sesuai kesepakatan. Begitu seterusnya.
Maka dari itu, kita harus jeli dan punya trik supaya punya kesempatan main pertama, caranya setiten (menganalisa) dan mengamati anak A, B, C biasanya pakai jari apa ketika suit, pakai telapak atau punggung tangan ketika hompimpa, dan sebagainya.
Haha. Ya! Aku dari kecil sebetulnya memang tricky dan mulai pencitraan ketika sudah besar.
Gara- gara suka main cirak, aku juga punya kelereng banyak. Zaman dulu, semakin banyak kelereng hasil dari main, maka dianggap paling wah dan master. Haha. Ngakak sendiri ingatnya.
Cirak : Kalau menang bakalan di arak, kalau kalah jangan mencak- mencak. Begitulah kira- kira. Ketika kita melempar kelereng andalan dan kena kepala, maka sorak gembira penonton atau anak- anak yang gak ikut main serasa bikin kepala jadi besar. Kalau kalah banyak yang ngambek karena kelerengnya habis.
Bolak- balik aku dimarahi mbah uti dan ibuku, katanya perempuan main kelereng. Gak pantes, gak etis, dan gak gak yang lainnya. Jadi, kalau ada yang bilang aku masih terlihat tomboy sampai sekarang, saudara dan teman- teman cirakku itu punya andil besar dalam membentuk kepribadianku. Haha.
Kalau kamu tanya, sekarang kemana semua kelerengku ? Sudah aku jual waktu kelas 3 SD ke teman kelasku. Kelereng biasa lima biji kuberi harga Rp 500, kadang aku bonusi juga. Tapi kalau kelerengnya ada corak yang bagus lebih mahal lagi harganya. Alasannya karena gak punya tempat menyembunyikan semua harta karunku itu.
Sekali lagi, aku merasa beruntung karena semua hal asyik di masa itu sudah pernah kulakukan.
Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh Mama Calvin dan Bunda Salfa"
Apalagi aku ini termasuk generasi 90-an yang katanya generasi terakhir yang merasakan kebahagiaan, sebelum era teknologi modern datang menyerang. Tapi menurutku, itu sih klaim generasi angkatan sekian yang gak rela karena menyadari ternyata mereka semakin dewasa
Tapi aku merasa beruntung karena masih bisa merasakan omelan ibuk setiap pulang main karena baju kotor atau pulang kesorean. Masih bisa merasakan banyak hal yang gak mungkin dilakukan lagi di zaman sekarang karena kesibukan, sibuk cari uang buat nikah kayaknya sih. Atau bahkan karena gak ada partner main yang seumuran. Pada akhirnya, ya cuma bisa diam, terpaku, dan mengenang.
Kalau boleh cerita, masa kecilku itu bandel banget. Lebih suka main daripada belajar, lebih suka tiduran di bawah pohon rindang belakang rumah atau di atas jerami bakal pangan hewan peliharaan di kandang. Daripada tidur siang di kasur dengan kipas angin berputar.
Sebelum ngehits acara adventure, dulu aku juga sudah menjelajah seluruh desaku dengan jalan kaki. Mulai dari cari daun yang bisa dikelupas biar bisa buat bola- bolaan, cari melinjo, nyolong bengkoang, ikut teman angon kambing di lapangan. Makanya, aku sekarang suka malu kalau ada tetanggaku yang buka- buka aib di masa kecilku pas kami lagi ketemu.
Kalau boleh sombong "aku ngehits banget lah dulu itu".
Sebagai anak ngehits di zamannya, aku juga suka sekali bermain bersama teman. Mulai dari bola bekel, rumah- rumahan, barbie, bola kasti, gobak sodor, dakon (congklak), petak umpet, masak- masakan, lompat tali, layangan, egrang, ular naga, patil lele, gejlik, cirak (kelereng), dan masih banyak lagi.
Semua yang ikut permainan harus membidik barisan kelereng itu dengan satu kelereng andalan. Penentuan siapa yang harus main pertama dan selanjutnya dengan cara hompimpa, suit atau wo dowo (njang panjang) - menggunakan tangan kanan, gerakan lurus dan tekuk. Lagunya "wo dowo sing dowo menang"-. Lalu jika ada yang sama ditentukan dengan suit.
Kalau barisan kelerengnya panjang beruntung sekali yang bisa main pertama, karena punya kesempatan besar untuk membidik kepala. Tapi banyak juga yang missed karena setiap kelereng terdapat jarak yang lumayan lebar.
Jika pemain pertama membidik lalu kena kepala, itu artinya seluruh barisan kelereng tersebut sah jadi milik pemain pertama, lalu permainan selesai. Jika pemain pertama mendapat bagian badan atau leher dan masih ada sisa kelereng, permainan masih dilanjutkan dengan pemain kedua, ketiga, dan seterusnya sampai pemain terakhir. Tapi, kalau pemain terakhir masih gak bisa menghabiskan kelereng, maka akan diisi lagi dengan kelereng baru sesuai kesepakatan. Begitu seterusnya.
Maka dari itu, kita harus jeli dan punya trik supaya punya kesempatan main pertama, caranya setiten (menganalisa) dan mengamati anak A, B, C biasanya pakai jari apa ketika suit, pakai telapak atau punggung tangan ketika hompimpa, dan sebagainya.
Haha. Ya! Aku dari kecil sebetulnya memang tricky dan mulai pencitraan ketika sudah besar.
Gara- gara suka main cirak, aku juga punya kelereng banyak. Zaman dulu, semakin banyak kelereng hasil dari main, maka dianggap paling wah dan master. Haha. Ngakak sendiri ingatnya.
Cirak : Kalau menang bakalan di arak, kalau kalah jangan mencak- mencak. Begitulah kira- kira. Ketika kita melempar kelereng andalan dan kena kepala, maka sorak gembira penonton atau anak- anak yang gak ikut main serasa bikin kepala jadi besar. Kalau kalah banyak yang ngambek karena kelerengnya habis.
Bolak- balik aku dimarahi mbah uti dan ibuku, katanya perempuan main kelereng. Gak pantes, gak etis, dan gak gak yang lainnya. Jadi, kalau ada yang bilang aku masih terlihat tomboy sampai sekarang, saudara dan teman- teman cirakku itu punya andil besar dalam membentuk kepribadianku. Haha.
Kalau kamu tanya, sekarang kemana semua kelerengku ? Sudah aku jual waktu kelas 3 SD ke teman kelasku. Kelereng biasa lima biji kuberi harga Rp 500, kadang aku bonusi juga. Tapi kalau kelerengnya ada corak yang bagus lebih mahal lagi harganya. Alasannya karena gak punya tempat menyembunyikan semua harta karunku itu.
Sekali lagi, aku merasa beruntung karena semua hal asyik di masa itu sudah pernah kulakukan.
Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh Mama Calvin dan Bunda Salfa"