*Monggo dibaca, ini hanya opini ya. Tolong jangan di marahi kalau beda pendapat*
Hehehe
Pengalaman memang guru terbaik, kata- kata itu memang bener dan gak salah sama sekali. Ternyata kalau belum merasakan, mulut kita ini kadang suka ngomong celometan sana sini, seneng maido kalau bahasa jawanya, bahasa kerennya nyinyir.
Sama kayak aku ini, sering mikir kalau kerja ikut orang itu enak, dapat uang makan, gaji, dan yang paling penting adalah pengalaman, enak yo ? Iya, kalau belum pernah merasakan memang enak. Tapi, sejak 2 hari yang lalu, pemikiranku berubah. Jadi pegawai itu, gak enak. Apalagi "tukang ewang- ewang" (tukang bantu- bantu).
Ibuk ku pedagang jadi kerjanya di pasar, nah, di pasar ini punya ruko, kalau bapak juga sama, tapi beda profesi. Bapak punya penggilingan, orang nyebutnya tukang selep, e tapi bukan salep ataupun seleb ya.
Menjelang hari raya, tentunya banyak masyarakat yang belanja, dan pasar jadinya lebih ramai dari biasanya, kalau di sini ngomongnya "prepekan" *belum nemu bahasa Indonesia nya yang pas*. Nah, kalau menjelang lebaran begini, aku jadi punya kegiatan, bantu- bantu bapak ibu di pasar. Ini bukan pertama kalinya sih bantu- bantu menjelang lebaran tapi baru kali ini benar- benar merasakan gak enaknya jadi pegawai.
Kalau sama bapak, sistem bantu- bantunya simpel. Kalau ada yang nyelep, aku tinggal nerima, naruh barang di mesin giling, bapak yang nyelep, dan aku nerima uang. Tanpa banyak wuswuswus. Kalau sama ibu, sebenarnya lebih simpel, tapi jadi gak simpel karena dibumbui omelan- omelan. Hahaha
Kalau sama ibuk ini, aku cuma disuruh ngambil barang yang di beli, sesekali nimbang, dan ngitung jumlah belanjaan. Ya, ibuk sebelumnya kerjanya sendirian, karena memang beliaunya bisa menghandle semua sendiri. Cuma kalau lagi ramai begini, memang butuh bantuan sedikit. Aku yang gak ngerti tempat barangnya, sering lama melayani pesanan pembeli, dan itu yang bikin ibuku ngomel- ngomel. Mataku sering siwer, barang di depan mata malah cari- cari di tempat lain. Mungkin kalau ibarat game, pembelinya sudah kehilangan kesabaran yang ditandai dengan "love" nya ilang. Untung pembeli- pembelinya sabar, karena sudah kenal ibuk semua, dan mereka memaklumi ke-lemot-tan ku dengan sesekali ngomong "bakul e anyar" (*penjualnya baru).
Kalau dimarahi seperti itu, aku gak pernah marah balik, cuma agak jengkel dikit, duh dosa ya aku. Tapi, untungnya kalau lagi jengkel gitu aku cuma bisa diam aja, gak pernah ngebantah blas. Dan ibu bisa membaca kejengkelanku itu dengan menurunkan kadar omelannya padaku, dengan langsung menunjukkan tempat barang yang dimaksud pembeli. Ya aku juga sadar sih, awal- awal ibu sering ngomel itu memang pembelinya lagi banyak. Jadi, gak bisa mengarahkanku.
Setelah pasar selesai, dan pulang kerumah, ibu mengevaluasi kinerja ku selama dua hari kemarin. Beliau bilang, aku lebih cepet kalau di suruh ngitung jumlah belanjaan dibanding disuruh- suruh kerja okol atau otot. Soalnya, aku kalau itung- itungan jarang pakai kalkulator, dan baru kalau sudah selesai baru ngitung pakai kalkulator, dan katanya itu lebih cepet. Bahasane 'cak cek nek dikon kerjo mikir'.
Aku sebenarnya suka bantu- bantu gitu. Tapi, aku jadi malas kalau disuruhnya pakai bahasa yang kasar, jadi ibu kalau nyuruh aku ngomongnya selalu manis, dan aku selalu langsung berangkat. Hatiku ini gak bisa diajak frontal, sejak kecil hidup di lingkungan halus. Makanya, mulai sekarang ini, menjelang skripsi, aku mulai mikir kerjaan apa yang cocok buat ku nantinya, yang tentunya tidak "under pressure". Soalnya aku agak susah kalau disuruh kerja sama orang lain apalagi orangnya gak cocok sama aku, diriku selalu mendominasi dan adanya malah pertnerku tak suruh- suruh. Hahaha. Ets, tapi aku juga ikut kerja.
Gara- gara ngerasain ikut ibuku kerja, jadi gak salah kalau salah satu stasiun televisi pernah bikin acara Bosan Jadi Pegawai.
Hehehe
Pengalaman memang guru terbaik, kata- kata itu memang bener dan gak salah sama sekali. Ternyata kalau belum merasakan, mulut kita ini kadang suka ngomong celometan sana sini, seneng maido kalau bahasa jawanya, bahasa kerennya nyinyir.
Sama kayak aku ini, sering mikir kalau kerja ikut orang itu enak, dapat uang makan, gaji, dan yang paling penting adalah pengalaman, enak yo ? Iya, kalau belum pernah merasakan memang enak. Tapi, sejak 2 hari yang lalu, pemikiranku berubah. Jadi pegawai itu, gak enak. Apalagi "tukang ewang- ewang" (tukang bantu- bantu).
Ibuk ku pedagang jadi kerjanya di pasar, nah, di pasar ini punya ruko, kalau bapak juga sama, tapi beda profesi. Bapak punya penggilingan, orang nyebutnya tukang selep, e tapi bukan salep ataupun seleb ya.
Menjelang hari raya, tentunya banyak masyarakat yang belanja, dan pasar jadinya lebih ramai dari biasanya, kalau di sini ngomongnya "prepekan" *belum nemu bahasa Indonesia nya yang pas*. Nah, kalau menjelang lebaran begini, aku jadi punya kegiatan, bantu- bantu bapak ibu di pasar. Ini bukan pertama kalinya sih bantu- bantu menjelang lebaran tapi baru kali ini benar- benar merasakan gak enaknya jadi pegawai.
Kalau sama bapak, sistem bantu- bantunya simpel. Kalau ada yang nyelep, aku tinggal nerima, naruh barang di mesin giling, bapak yang nyelep, dan aku nerima uang. Tanpa banyak wuswuswus. Kalau sama ibu, sebenarnya lebih simpel, tapi jadi gak simpel karena dibumbui omelan- omelan. Hahaha
Kalau sama ibuk ini, aku cuma disuruh ngambil barang yang di beli, sesekali nimbang, dan ngitung jumlah belanjaan. Ya, ibuk sebelumnya kerjanya sendirian, karena memang beliaunya bisa menghandle semua sendiri. Cuma kalau lagi ramai begini, memang butuh bantuan sedikit. Aku yang gak ngerti tempat barangnya, sering lama melayani pesanan pembeli, dan itu yang bikin ibuku ngomel- ngomel. Mataku sering siwer, barang di depan mata malah cari- cari di tempat lain. Mungkin kalau ibarat game, pembelinya sudah kehilangan kesabaran yang ditandai dengan "love" nya ilang. Untung pembeli- pembelinya sabar, karena sudah kenal ibuk semua, dan mereka memaklumi ke-lemot-tan ku dengan sesekali ngomong "bakul e anyar" (*penjualnya baru).
Kalau dimarahi seperti itu, aku gak pernah marah balik, cuma agak jengkel dikit, duh dosa ya aku. Tapi, untungnya kalau lagi jengkel gitu aku cuma bisa diam aja, gak pernah ngebantah blas. Dan ibu bisa membaca kejengkelanku itu dengan menurunkan kadar omelannya padaku, dengan langsung menunjukkan tempat barang yang dimaksud pembeli. Ya aku juga sadar sih, awal- awal ibu sering ngomel itu memang pembelinya lagi banyak. Jadi, gak bisa mengarahkanku.
Setelah pasar selesai, dan pulang kerumah, ibu mengevaluasi kinerja ku selama dua hari kemarin. Beliau bilang, aku lebih cepet kalau di suruh ngitung jumlah belanjaan dibanding disuruh- suruh kerja okol atau otot. Soalnya, aku kalau itung- itungan jarang pakai kalkulator, dan baru kalau sudah selesai baru ngitung pakai kalkulator, dan katanya itu lebih cepet. Bahasane 'cak cek nek dikon kerjo mikir'.
Aku sebenarnya suka bantu- bantu gitu. Tapi, aku jadi malas kalau disuruhnya pakai bahasa yang kasar, jadi ibu kalau nyuruh aku ngomongnya selalu manis, dan aku selalu langsung berangkat. Hatiku ini gak bisa diajak frontal, sejak kecil hidup di lingkungan halus. Makanya, mulai sekarang ini, menjelang skripsi, aku mulai mikir kerjaan apa yang cocok buat ku nantinya, yang tentunya tidak "under pressure". Soalnya aku agak susah kalau disuruh kerja sama orang lain apalagi orangnya gak cocok sama aku, diriku selalu mendominasi dan adanya malah pertnerku tak suruh- suruh. Hahaha. Ets, tapi aku juga ikut kerja.
Gara- gara ngerasain ikut ibuku kerja, jadi gak salah kalau salah satu stasiun televisi pernah bikin acara Bosan Jadi Pegawai.