Karena sudah cukup lama tidak pelesiran ke Malang, akhirnya hari Minggu kemarin, saya coba buat melipir kesana. Tujuannya mau foto- foto di wisata heritage yang ada di Kayu Tangan.
Seperti kebiasaan sebelum- sebelumnya, tiap kali mau datang ke suatu tempat, saya pasti akan mencari terlebih dulu lokasinya. Buat referensi, kira- kira worth it gak sih buat dikunjungi.
Toko di depan pasar Gajah Mada |
Nah, saya tahu lokasi kampung ini dari Instagram, kok rasanya kayak bagus dan akhirnya tertarik untuk berkunjung. Btw, saya pernah tinggal di Malang kurang lebih 4 tahunan, tapi kenapaaaaa pas udah gak stay lagi jadi banyak tempat baru yang bagus- bagus. Haha. Kesel.
Minggu pagi berangkat ke Malang sekitar pukul 06.15 dan kondisinya lenggang banget, sedikit kendaraan yang lalu lalang. Mungkin karena masih pagi juga, jadinya sepi dan bisa cepat sampai di tujuan. Mungkin kurang dari 2 jam saya sudah sampai di Malang kota.
Beres janjian dan ketemuan sama Ical, kita coba buat cari sarapan dulu di sekitaran kampus UM. Sambil nostalgia zaman- zaman kuliah. Beres sarapan langsung cus cari daerah Kayu Tangan. Jujur agak lupa meski sudah dibantu sama Google Maps. Emang dasarnya saja buta peta sih aslinya.
Nah pas navigasi menunjukkan kalau kamu sudah dekat dengan lokasi Kampung Heritage Kayu Tangan, eh malah hujan mulai turun. Jadilah kami berdua memacu kendaraan ke pasar Gajah Mada untuk berteduh.
Lumayan deras hujan turun dan waktunya juga cukup lama. Jadinya kita jalan- jalan lihat apa yang ada di dalam pasar dan lihat orang belanja.
Lumayan deras hujan turun dan waktunya juga cukup lama. Jadinya kita jalan- jalan lihat apa yang ada di dalam pasar dan lihat orang belanja.
Sekitar pukul 11 lebih hujan baru reda meskipun masih gerimis. Tapi karena memang saya tidak punya banyak waktu di Malang, jadi harus segera meluncur ke tujuan, yaitu kampung Kayu Tangan.
Waktu cek Google Maps pun, saya dan Ical masih belum menemukan lokasi yang tepat, "hadoh endi seh iki, kok mulek ae!", gerutu saya.
Ternyata pintu gerbang untuk bisa masuk ke Kampung Heritage ini ada 4, dan keempatnya sudah kami lewati sebelumnya. Bajilak. Haha. Namun yang muncul di Google Maps hanya satu, yaitu di Jalan Basuki Rachmat Gg VI.
Padahal untuk bisa masuk ke area perkampungan ini bisa lewat pintu gerbang dan gang mana saja yang mengelilingi kampung ini.
Saat kami datang berkunjung, Kampung Kayu Tangan ini ramai sekali karena ada workshop GenBi (Generasi Baru Indonesia) di salah satu gedung pertemuan yang ada di kampung ini.
Sebetulnya sedikit bingung juga ya waktu masuk ke lokasi ini, selain karena di Maps munculnya cuma satu gerbang saja, saat itu juga bingung mau izin masuk kampungnya ke siapa.
Setelah memarkir kendaraan, kami dipanggil oleh seorang ibu penjaga warung yang ada di dekat pintu masuk dan diminta untuk mengisi buku tamu, kemudian kami diberi kartu pos serta peta untuk menjadi guide selama perjalanan di kampung ini.
Tiket masuknya juga standar wisata lainnya, seperti Jodipan dan kampung Biru Arema, yaitu Rp 5.000/ orang dengan retribusi parkir Rp 2.000 untuk motor.
Setelah menunggu hujan sedikit reda, kami mulai menyusuri kampung ini. Sayangnya waktu itu, kami tidak sampai masuk ke rumah- rumah yang ditunjuk sebagai rumah heritage, ya.
Karena ada beberapa yang pintu gerbangnya dikunci dan ada juga yang terbuka, tapi rasanya agak sungkan dan riweh kalau harus masuk- masuk ke rumah orang.
Menurut saya sih, kampung heritage ini suasannya sama seperti kampung padat penduduk lainnya. Rumah- rumahnya berdekatan dan padat khas perkampungan yang ada di perkotaan, namun yang menarik adalah di sini ada cukup banyak rumah dengan aksen Belanda yang dipertahankan, selain itu juga kondisi rumahnya masih bagus dan bersih.
Perlu waktu yang cukup lama kalau mau tahu semua tempat di kampung ini, saya sih gak nemu semuanya. Padahal rasanya waktu itu sudah muter berkali- kali.
Atau mungkin juga karena waktu itu kondisinya sedang ramai ya. Mungkin lain kali akan berkunjung lagi, saat tidak musim liburan.
Waktu cek Google Maps pun, saya dan Ical masih belum menemukan lokasi yang tepat, "hadoh endi seh iki, kok mulek ae!", gerutu saya.
Ternyata pintu gerbang untuk bisa masuk ke Kampung Heritage ini ada 4, dan keempatnya sudah kami lewati sebelumnya. Bajilak. Haha. Namun yang muncul di Google Maps hanya satu, yaitu di Jalan Basuki Rachmat Gg VI.
Padahal untuk bisa masuk ke area perkampungan ini bisa lewat pintu gerbang dan gang mana saja yang mengelilingi kampung ini.
Saat kami datang berkunjung, Kampung Kayu Tangan ini ramai sekali karena ada workshop GenBi (Generasi Baru Indonesia) di salah satu gedung pertemuan yang ada di kampung ini.
Sebetulnya sedikit bingung juga ya waktu masuk ke lokasi ini, selain karena di Maps munculnya cuma satu gerbang saja, saat itu juga bingung mau izin masuk kampungnya ke siapa.
Tiket masuknya juga standar wisata lainnya, seperti Jodipan dan kampung Biru Arema, yaitu Rp 5.000/ orang dengan retribusi parkir Rp 2.000 untuk motor.
Setelah menunggu hujan sedikit reda, kami mulai menyusuri kampung ini. Sayangnya waktu itu, kami tidak sampai masuk ke rumah- rumah yang ditunjuk sebagai rumah heritage, ya.
Karena ada beberapa yang pintu gerbangnya dikunci dan ada juga yang terbuka, tapi rasanya agak sungkan dan riweh kalau harus masuk- masuk ke rumah orang.
Menurut saya sih, kampung heritage ini suasannya sama seperti kampung padat penduduk lainnya. Rumah- rumahnya berdekatan dan padat khas perkampungan yang ada di perkotaan, namun yang menarik adalah di sini ada cukup banyak rumah dengan aksen Belanda yang dipertahankan, selain itu juga kondisi rumahnya masih bagus dan bersih.
Perlu waktu yang cukup lama kalau mau tahu semua tempat di kampung ini, saya sih gak nemu semuanya. Padahal rasanya waktu itu sudah muter berkali- kali.
Atau mungkin juga karena waktu itu kondisinya sedang ramai ya. Mungkin lain kali akan berkunjung lagi, saat tidak musim liburan.