Weekend kemarin terasa istimewa. (26/4), saya bersama ke 19 teman saya berangkat mendaki Gunung Panderman. Diawali dari postingan pengumuman salah satu teman kami, Juan Carlo di WA kelas, mengenai rencana camping di Panderman. Katanya iseng, biasanya gak ada yang respon. Ternyata anak perempuan banyak yang respon dan pengen ikut, termasuk saya.
Saya pengen ke Panderman udah lama, dulu dikasih janji sama Kahim (ketua himpunan) saya di HMJ, Satyani. Tapi karena waktu belum memugkinkan sampai sekarang kami belum jadi kesana, gak taunya malah saya pergi sama teman sekelas.
Kami janjian di kampus, berangkat bersama pukul 16.00, namun karena hujan deras ditunda sampai reda. Sampai Maghrib, hingga pukul 19.00. Alhamdulillah hujan reda, dan kami berangkat. 10 kendaraan, dan seperti biasa saya dibonceng Mbah Nang (Danang) teman sekolah saya sejak SMP hingga kuliah.
Kami berhenti sejenak di SPBU, dan melanjutkan perjalanan ke Panderman. Di tengah perjalanan, hujan kembali turun, makin lama makin deras. Lalu, kami berbelanja di toko xxx, sebagai pemberhentian terakhir. Mengisi amunisi.
Pukul 20.30 kami mulai naik menuju pos Panderman. Jalanan menanjak, apalagi saya dan Danang membawa tenda, makin berhati- hati. Suasana berkabut tebal. Jarak pandang terbatas. Tapi, pemandangan Batu benar- benar indah. Hiasan dari lampu- lampu rumah penduduk.#GaAdaFoto
Setelah parkir, berdoa, dan membayar tiket masuk. Kami memulai perjalanan, mendaki.
Perjalanan awal begitu menyenangkan, jalanan masih didominasi batu paving. Mudah, meskipun menanjak. Makin lama, jalanan mulai becek, memang kami mendaki setelah hujan. Tidak safety ya.
Tujuan awal kami adalah Latar Ombo Panderman, tempat dimana para pendaki membangun tenda untuk istirahat. Kemudian esok paginya naik ke puncak. Untuk sampai di latar ombo, seharusnya dapat ditempuh 30- 45 menit. Ada penunjuk jalan yang di paku di pohon.
Penunjuk jalan adalah Adrian, teman kami yang sudah empat kali naik Panderman.Cuaca memang tidak mendukung, tapi pikir kami "sudah begini, naik ya naik lah". Hutan, selalu mengerikan. Sepi, apalagi saat itu sudah malam. Seharusnya kami sudah sampai di latar ombo paling lambat pukul 21.30, namun sampai 00:00 kami masih tersesat mencari jalan. Berkali- kali nemu jalan 'aneh', tebu- tebu gitu. Selain Adrian, ada Juan, dan Danang yang juga sudah empat kali naik Panderman, dan mereka berdua (Danang en Juan) sering bilang "sek sek, iki bener opo ora kok dalane ngene" (sebentar, ini bener apa enggak kok jalannya gini?) | Adrian : "iyo bener kok, aku iling" (iya bener kok, aku ingat). Kemudian kami melanjutkan perjalanan yang entah kemana ujungnya.
Beberapa kali kami bertemu rombongan lain, dan ternyata mereka juga tersesat. Teman kami teriak SOS (tanda bahaya gitu ya), sambil lampu senternya diredup- terang kan, ngasih tanda kalau ada kami di suatu tempat dan maksudnya biar mereka ngasih bantuan. Kemudian, tiba- tiba ada mas- mas "macak" pendaki yang nyamperin kami, ngajak ngobrol, dia juga cari jalan. Selang berapa waktu mas- mas itu sudah gak ada, entah sudah naik dan kembali ke rombongannya atau malah . . . . . . :x. Apalagi di beberapa titik perjalanan sering ada bau- bau mie kuah. Mungkin halusinasi kami karena kelaparan. :|
Alhamdulillah, di Panderman masih ada sinyal. ALHAMDULILLAH. Kalau enggak ? Mungkin kami gak bakalan nemu latar ombo sampai pagi. Kebetulan saat itu ada teman kami yaitu Kitib dan Hafidz yang juga naik Panderman bersama adik- adik Himpunan. Namun, kami berangkat sendiri- sendiri. Saya dan teman kelas berangkat dulu, tapi mereka sampai duluan di latar ombo. Danang menghubungi Kitib, minta petunjuk jalan. Bener! Ternyata kami kebablasan juaaaaaauh sakpole! Dari naik sampai turun lagi. Duh Gusti, salah apa kami. T_T.
Akhirnya kami turun lagi, jauh, bener bener jauh. Disitu, pertahanan saya udah mau jebol. Mau nangis. Tapi saya diem aja, takut temen- temen yang lain terpengaruh dan down.Mata saya beberapa kali nemu obyek yang ya begitulah. Jalanan licin, salahnya lagi saya nyeker (gak pakai alas kaki) karena sandal yang saya pakai bukan sandal gunung, tapi swalow. Dingin, licin, becek. Beberapa kali jumpalitan jatuh. Setelah turun jauh, kami mendengar suara Kitib dan Hafidz, "Alhamdulillah". Selang beberapa waktu kami menemukan jalan naik ke latar ombo. Disini gak kalah ekstrem. Menanjak curam dan licinnya dua kali lipat. Kayak berlumut gitu. Saya gandengan sama temen, Nanda. Waktu naik ke atas bukit, kaki saya kena besi tenda. Beuh! Cuma bisa meringis.
Ternyata, naik ke latar ombo butuh perjuangan juga. Salah melangkah bisa turun ke semak- semak. Apalagi jalananya gelap, dan senter terbatas. Mblasak- mblasak.
Alhamdulillah. Pukul 00.30 kami menemukan sebuah tempat dimana banyak tenda berdiri, ya! kami sampai di latar ombo. Crowded sampai kami gak dapat lahan untuk mendirikan tenda. Saya dan teman perempuan yang lain, sudah hampir tepar. Kemudian memutuskan untuk istirahat bareng temen- temen HMJ yang lagi main poker.
01.30 teman- teman cowok mengajak kami untuk pindah tempat, mendirikan tenda. Bobok time, seluruh badan ngilu semua. Saya tidur, karena punya misi pengen ketemu sunrise di puncak. Dingin, brrrrr! Sudah gak sempat mikir cuci kaki. Kaki penuh lumpur yang sudah kering, langsung saya pakein kaos kaki. Gak peduli kotor. haha. Tapi, tetep gosok gigi sebelum tidur. B|
Saya tidur di paling ujung, dengan kontur tanah miring, jadi kalau saya tidur miring saya melorot :D. Benar- benar bukan tidur yang berkualitas. Tapi, cukup untuk menghilangkan pegal - pegal. Sayang sekali, saat bangun badan saya sudah kaku semua, dan memutuskan untuk tidak naik puncak. Lanjut tidur.
Setelah bangun, gosok gigi dan cuci muka lanjuuut foto- foto. Hahaha
Gak taunya, temen- temen yang lain sudah bangun semua. Mereka kedinginan, saya dong udah lepas jaket :D
Kembali dari foto- foto saya kelaparan, makan mie instan ala chef kami, Oppa Adri. Jujur, saya udah lama gak makan mie instan. Sekitar 4 bulan. Kemarin, makan mie instan enak tapi aneh. hahaha.
Keluwen Kelaparan
Kemudian saya balik tidur. Entahlah, teman- teman sedang ramai membicarakan apa, pukul 8 saya bangun, dan ternyata mereka sudah siap- siap packing. Kabut mulai turun, dan anak perempuan sudah ngajak turun. Kami semua berkemas, masih sempetnya foto- foto. Oke itu memang naluri ya.
Turun gunung, kami gak percaya kalau semalam melewati medan se ekstrem
itu. Pulang dan kelaparan, acara camping Panderman ditutup dengan makan
bersama di lalapan Haza Merjosari.
Terimakasih,teman- temanku. Untuk semua kerjasamanya, kesabarannya, dan kebesaran hatinya. Memorable! Gak akan pernah kulupakan.
Tulisan ini, spesial untuk teman- teman yang ikut naik Panderman.
Laki- laki : Juan Carlo, Danang Bagus Prabowo, Adriansyah, Ardhi Kitib, Mualimin, Eko Setyo, Sofyan Andri, Feri Febriandi, Fendi (kangmasnya Agrifina).
Perempuan : Agrifina Widya, Nanda Puspita, Chusnul, Nofi Wulandari, Dian Lestari, Nina Aprilia, Soimatul, Didin Elok, Diah Rosita, dek Intan (sayangnya Sofyan).
Dan buat yang belum ikut. Next ya. Duh rugi kalau kalian gak ikutan reeek.
*Sampai kosan langsung mandi keramas dan istirahat*
Rombongan kami gak ada yang naik ke puncak. Nyasar hampir 4 jam, sudah sama saja seperti naik ke puncak ya. Maka dari itu, kami akan melakukan pendakian lagi ke Panderman, dan harus sampai puncak.
Saya pengen ke Panderman udah lama, dulu dikasih janji sama Kahim (ketua himpunan) saya di HMJ, Satyani. Tapi karena waktu belum memugkinkan sampai sekarang kami belum jadi kesana, gak taunya malah saya pergi sama teman sekelas.
Kami janjian di kampus, berangkat bersama pukul 16.00, namun karena hujan deras ditunda sampai reda. Sampai Maghrib, hingga pukul 19.00. Alhamdulillah hujan reda, dan kami berangkat. 10 kendaraan, dan seperti biasa saya dibonceng Mbah Nang (Danang) teman sekolah saya sejak SMP hingga kuliah.
#Selfshoes
Kami berhenti sejenak di SPBU, dan melanjutkan perjalanan ke Panderman. Di tengah perjalanan, hujan kembali turun, makin lama makin deras. Lalu, kami berbelanja di toko xxx, sebagai pemberhentian terakhir. Mengisi amunisi.
Pukul 20.30 kami mulai naik menuju pos Panderman. Jalanan menanjak, apalagi saya dan Danang membawa tenda, makin berhati- hati. Suasana berkabut tebal. Jarak pandang terbatas. Tapi, pemandangan Batu benar- benar indah. Hiasan dari lampu- lampu rumah penduduk.#GaAdaFoto
Setelah parkir, berdoa, dan membayar tiket masuk. Kami memulai perjalanan, mendaki.
Perjalanan awal begitu menyenangkan, jalanan masih didominasi batu paving. Mudah, meskipun menanjak. Makin lama, jalanan mulai becek, memang kami mendaki setelah hujan. Tidak safety ya.
Tujuan awal kami adalah Latar Ombo Panderman, tempat dimana para pendaki membangun tenda untuk istirahat. Kemudian esok paginya naik ke puncak. Untuk sampai di latar ombo, seharusnya dapat ditempuh 30- 45 menit. Ada penunjuk jalan yang di paku di pohon.
Penunjuk jalan adalah Adrian, teman kami yang sudah empat kali naik Panderman.Cuaca memang tidak mendukung, tapi pikir kami "sudah begini, naik ya naik lah". Hutan, selalu mengerikan. Sepi, apalagi saat itu sudah malam. Seharusnya kami sudah sampai di latar ombo paling lambat pukul 21.30, namun sampai 00:00 kami masih tersesat mencari jalan. Berkali- kali nemu jalan 'aneh', tebu- tebu gitu. Selain Adrian, ada Juan, dan Danang yang juga sudah empat kali naik Panderman, dan mereka berdua (Danang en Juan) sering bilang "sek sek, iki bener opo ora kok dalane ngene" (sebentar, ini bener apa enggak kok jalannya gini?) | Adrian : "iyo bener kok, aku iling" (iya bener kok, aku ingat). Kemudian kami melanjutkan perjalanan yang entah kemana ujungnya.
Beberapa kali kami bertemu rombongan lain, dan ternyata mereka juga tersesat. Teman kami teriak SOS (tanda bahaya gitu ya), sambil lampu senternya diredup- terang kan, ngasih tanda kalau ada kami di suatu tempat dan maksudnya biar mereka ngasih bantuan. Kemudian, tiba- tiba ada mas- mas "macak" pendaki yang nyamperin kami, ngajak ngobrol, dia juga cari jalan. Selang berapa waktu mas- mas itu sudah gak ada, entah sudah naik dan kembali ke rombongannya atau malah . . . . . . :x. Apalagi di beberapa titik perjalanan sering ada bau- bau mie kuah. Mungkin halusinasi kami karena kelaparan. :|
Alhamdulillah, di Panderman masih ada sinyal. ALHAMDULILLAH. Kalau enggak ? Mungkin kami gak bakalan nemu latar ombo sampai pagi. Kebetulan saat itu ada teman kami yaitu Kitib dan Hafidz yang juga naik Panderman bersama adik- adik Himpunan. Namun, kami berangkat sendiri- sendiri. Saya dan teman kelas berangkat dulu, tapi mereka sampai duluan di latar ombo. Danang menghubungi Kitib, minta petunjuk jalan. Bener! Ternyata kami kebablasan juaaaaaauh sakpole! Dari naik sampai turun lagi. Duh Gusti, salah apa kami. T_T.
Akhirnya kami turun lagi, jauh, bener bener jauh. Disitu, pertahanan saya udah mau jebol. Mau nangis. Tapi saya diem aja, takut temen- temen yang lain terpengaruh dan down.
Ternyata, naik ke latar ombo butuh perjuangan juga. Salah melangkah bisa turun ke semak- semak. Apalagi jalananya gelap, dan senter terbatas. Mblasak- mblasak.
Alhamdulillah. Pukul 00.30 kami menemukan sebuah tempat dimana banyak tenda berdiri, ya! kami sampai di latar ombo. Crowded sampai kami gak dapat lahan untuk mendirikan tenda. Saya dan teman perempuan yang lain, sudah hampir tepar. Kemudian memutuskan untuk istirahat bareng temen- temen HMJ yang lagi main poker.
Anak HMJ EKP
Lelaki offering K
01.30 teman- teman cowok mengajak kami untuk pindah tempat, mendirikan tenda. Bobok time, seluruh badan ngilu semua. Saya tidur, karena punya misi pengen ketemu sunrise di puncak. Dingin, brrrrr! Sudah gak sempat mikir cuci kaki. Kaki penuh lumpur yang sudah kering, langsung saya pakein kaos kaki. Gak peduli kotor. haha. Tapi, tetep gosok gigi sebelum tidur. B|
Latar Ombo
Saya tidur di paling ujung, dengan kontur tanah miring, jadi kalau saya tidur miring saya melorot :D. Benar- benar bukan tidur yang berkualitas. Tapi, cukup untuk menghilangkan pegal - pegal. Sayang sekali, saat bangun badan saya sudah kaku semua, dan memutuskan untuk tidak naik puncak. Lanjut tidur.
Setelah bangun, gosok gigi dan cuci muka lanjuuut foto- foto. Hahaha
Hallo, selamat pagi, fellas!
Chusnul pose dulu di Latar Ombo Panderman
Ini Chusnul sama Agrifina
Ada Matahari ngintip dibelakang
Kalau ini cewek statusnya masih - On The Way -
editan : dicerahkan soalnya gelap banget
Gak taunya, temen- temen yang lain sudah bangun semua. Mereka kedinginan, saya dong udah lepas jaket :D
Danang, Silviana, Eko Setyo.
Tenda para perempuan tangguh! Seterooooooong!!
Cloud in Panderman
Kembali dari foto- foto saya kelaparan, makan mie instan ala chef kami, Oppa Adri. Jujur, saya udah lama gak makan mie instan. Sekitar 4 bulan. Kemarin, makan mie instan enak tapi aneh. hahaha.
-Gak ngerti kalau di foto, terlalu fokus sama mie.-
Foto dari kamera Nanda
Kemudian saya balik tidur. Entahlah, teman- teman sedang ramai membicarakan apa, pukul 8 saya bangun, dan ternyata mereka sudah siap- siap packing. Kabut mulai turun, dan anak perempuan sudah ngajak turun. Kami semua berkemas, masih sempetnya foto- foto. Oke itu memang naluri ya.
Haihoo..
Formasi lengkap.
photo by : Akangnya Agrifina, Fendi.
Fix!
photo by : me
Leren sik yo.
istirahat lagi, cuci kaki..
sambil makan jajan.
Habis cuci muka, cerah- cerah ya.
selain efek kamera :D
Kitib, Juan, and Me
kamu hebat Juan!
Legaaaa. Akhirnya kami sampai di rumah warga. Rumah terakhir sebelum naik ke Panderman.
-kok aku genit ya gayanya-
Silvi w/ the girls. #eh
Terimakasih,teman- temanku. Untuk semua kerjasamanya, kesabarannya, dan kebesaran hatinya. Memorable! Gak akan pernah kulupakan.
Tulisan ini, spesial untuk teman- teman yang ikut naik Panderman.
Laki- laki : Juan Carlo, Danang Bagus Prabowo, Adriansyah, Ardhi Kitib, Mualimin, Eko Setyo, Sofyan Andri, Feri Febriandi, Fendi (kangmasnya Agrifina).
Perempuan : Agrifina Widya, Nanda Puspita, Chusnul, Nofi Wulandari, Dian Lestari, Nina Aprilia, Soimatul, Didin Elok, Diah Rosita, dek Intan (sayangnya Sofyan).
Dan buat yang belum ikut. Next ya. Duh rugi kalau kalian gak ikutan reeek.
*Sampai kosan langsung mandi keramas dan istirahat*
Rombongan kami gak ada yang naik ke puncak. Nyasar hampir 4 jam, sudah sama saja seperti naik ke puncak ya. Maka dari itu, kami akan melakukan pendakian lagi ke Panderman, dan harus sampai puncak.
Pembaca, dapat salam dari puncak Panderman.
Photo by Yunindyo Sasmito
- Adik HMJ-
Keluarga Baru, Kuliah Kerja Nyata 2014
Mulai kemarin, dan hari ini, hingga dua bulan kedepan, bersama mereka, bersama nama- nama yang belum pernah saya dengar sebelumnya, kami akan hidup dalam satu atap, di suatu desa, yang entah dimana letaknya.
Semoga kita solid.
Kemarin, hari Selasa. Saya diberi kesempatan oleh salah satu teman dari organisasi KIM (Karya Ilmiah Mahasiswa) UB untuk sharing mengenai judul diatas. Awal mulanya, teman yang bernama Luky Amalta ini menghubungi melalui bbm, menanyakan mengenai blog dan sosial media. Saya kira dia cuma tanya biasa, ternyata saya diminta jadi pemateri. DEG!!
Saya langsung galau berhari- hari. Hahaha. Bingung
minta materi sana sini, sharing sama pak Fajar via bbm. Galau pokoknya.
Kemudian dikasih masukan untuk minta materi ke Klebun Plat M, mas Wahyu Alam.
Alhamdulillah langsung dikasih. Terimakasih mas Wahyu.
Akhirnya saya bilang, ini bukan pemateri ya, sharing biasa aja, ndoprok- ndoprok ning kloso duduk duduk biasa.
3 minggu sejak konfirmasi dari Luky saya masih
ngeles terus, mungkin sebenernya lebih ke Saya- Gak- Pede ngomong di depan
banyak orang. Saya masih takut berhadapan dengan banyak orang, apalagi asing,
sekelas Universitas Brawijaya. Yeah, semua tahulah gimana mahasiswa UB. :D
H- 7 saya masih berkutat dengan Tugas Akhir dan
belum menyentuh materi sharing blogging sama sekali. Belum lihat materi yang
diberi mas Wahyu. Selama seminggu itu saya intens sekali komunikasi dengan
Luky. Maksud hati supaya gak jadi gitu. Tapi, mungkin kalau saya memutuskan
untuk mundur saat itu, gak akan ada postingan ini dan saya tentu menyesal.
H-1 saya baru buat power point, bahkan H- 30 menit
saya masih ngutak atik desain presentasi saya. Percakapan BBM dengan Luky juga
semakin absurd.
Silviana
“Udan deres Ky :D”
Luky Amalta
“Udan gae mantel”
“Siap ?”
Silviana
“Gak”
Luky Amalta
“=)) *ROTFL*”
Silviana
“=))”
“Ky, misal aku gajadi gimana ?”
Luky Amalta
“*boxing*”
“Jam 4 kurang tak jemput”
Silviana
“aku turu, ngantuk”
“*sleeppy*”
Luky Amalta
“*boxing*”
Sumpah saya deg deg an.. Hahaha.
Akhirnya saya dijemput Luky di kos, masuk gerbang
UB, sumpah semakin menjadi jadi rasanya. Duh kayak gimana nanti. Hahaha.
Terjadi percakapan lagi,
Silviana : “Ky, gak usah ae ya, sumpah aku ndredeg iki”
Luky : “Alay”
-___-
Masuk ke Gedung Fakultas Pertanian, disana sudah ada
beberapa anak yang hadir, tidak banyak, namun berkesan.
Ohya, ini memang bukan seminar skala besar, hanya
anggota dari divisi Public Relation Karya Ilmiah Mahasiswa, temen saya Luky itu
Ketua Divisinya.
Awalnya, mencairkan suasana, saya sok kenal sok
dekat gitu, minta mereka kenalan satu persatu, sambil ngatur hati sebenernya.
HaHa
Alhamdulillah ya, manajemen hati saya masih berjalan
baik, bisa diajak kompromi. Kami sharing tentang internet, blog, sosial media,
etikanya, pembuatannya, personal brandingnya. Begitu.
Selama satu jam kami sharing, dan kalau saya disuruh
cerita lagi, kayaknya saya gak bisa, lupa karena saking asyiknya.
Selesai sharing, ada tanya jawab, untuuung saya bisa
yah, kalau enggak waduh rusak sudah kredibilitas saya sebagai blogger kece nan
elegan. Hahaha
Gak lupa, foto- foto buat dokumentasi mereka. Saya
dapat sertifikat pemateri, sama jajan, seneng lagi minumnya akuaaaa. Hehehe..
Soalnya saya gak mau kalau gak akuaaa, kan saya duta akuaaa.
B|
Ini saya dapat sertifikat, sama jajan.
*photo by Luky*
Kemudian, saya di follow follow begitu sama mereka.
Asyiiik. :D
Seneng deh, ternyata "ketakutan itu memang sebenarnya
tidak nyata." ~ After Earth
Mau ngomong apalagi ya enaknya, udahan dulu aja ya.
Besok- besok disambung lagi.
Ohya, saya lagi mau ikutan lomba blog bisnis yang
diadakan BEM Fakultas, ya iseng- iseng berhadiah gitu. Alamatnya di
mecha-rolledpaper.blogspot.com masih belum sepenuhnya di rehab. Baru kemarin
buatnya.
Hahaha.. Maap saya norak.
Sebagai makhluk sosial tentunya kita sering berkomunikasi satu dengan yang lain. Mulai dari percakapan nyata (tatap mata), dan percakapan via dunia maya (chatting, webcam). Dari sekian banyak percakapan tersebut sudah tentu kita mengalami yang namanya salah paham, anak sekarang bilangnya miss communication. Mungkin, kalau ngobrol nyata kita bisa lihat ekspresinya, tapi kalau dunia maya ?
Salah penggunaan tanda baca saja bisa jadi masalah loh, apalagi, mengeluarkan pernyataan yang kurang enak. Bagi sebagian orang mungkin, pernyataan tersebut biasa, tapi bagi orang lain lagi ? Nah!
Ya, berasa gimana gitu ya kalau lagi enak- enaknya ngobrol tiba- tiba ada yang marah karena merasa terganggu kemudian mengeluarkan perkataan kurang enak dibaca, dan kemudian salah paham.
Ujung- ujungnya masalah dunia maya pasti dibawa ke dunia nyata, ujungnya lagi gak nyapa. Atau mungkin, habis marah gitu nulis di sosyel media. Ih, kan jaman begitu udah lewat, itu jaman waktu SMA.
Jadi, kayaknya Think before Posting itu HARUS dipelajari lebih dalam dan dimaknai dengan sebaik- baiknya.
*Ohya, saya nulis ini bukan buat memancing permasalahan baru ya, just opini. Kalau ada yang merasa tidak enak hati, silakan dibalas dengan opini XD.*
Salah penggunaan tanda baca saja bisa jadi masalah loh, apalagi, mengeluarkan pernyataan yang kurang enak. Bagi sebagian orang mungkin, pernyataan tersebut biasa, tapi bagi orang lain lagi ? Nah!
Ya, berasa gimana gitu ya kalau lagi enak- enaknya ngobrol tiba- tiba ada yang marah karena merasa terganggu kemudian mengeluarkan perkataan kurang enak dibaca, dan kemudian salah paham.
Ujung- ujungnya masalah dunia maya pasti dibawa ke dunia nyata, ujungnya lagi gak nyapa. Atau mungkin, habis marah gitu nulis di sosyel media. Ih, kan jaman begitu udah lewat, itu jaman waktu SMA.
Jadi, kayaknya Think before Posting itu HARUS dipelajari lebih dalam dan dimaknai dengan sebaik- baiknya.
*Ohya, saya nulis ini bukan buat memancing permasalahan baru ya, just opini. Kalau ada yang merasa tidak enak hati, silakan dibalas dengan opini XD.*
Foto ini, di tempat ini menjadi langkah awal kami berdua (@tiwwiDy dan saya) untuk berani melangkah dan melangkah lagi, mengenal kalian semua.
#OldPict2011
Blogilicious Madura
Kadang- kadang, saya terlalu takut kalau tiba tiba
kepikiran hal yang gak mengenakkan. Langsung kayak takut takut sendiri, dan
parno. Beberapa hal sering terjadi setelah kepikiran dan diungkapkan. Ini
semacam dafuqable feeling mungkin ya. Kayak kemarin waktu ngeprint tugas dan
jilid. Mas penjaganya lama banget, dan waktu mas nya motong bagian kertas yang
kelebihan pakai cutter tiba- tiba kepikiran kalau tangannya bakal kena, terus
ngomong ke Jijah bisik- bisik “ih nyung, kok ngeri ya misal kena cutter”. Dan
mas penjaga teriak kesakitan, kena cutter. Padahal aku ngomongnya gak pakai toa
masjid tuh. Udah sering kejadian kayak gitu, jadinya sekarang lebih belajar aja
kalau ada hal- hal yang gak enak dipikiran, cuma diem aja. Kalau baik baru deh
di koar- koarin, kayak kelas kosong
misalnya. Hahaha
Ya mungkin, memang perkataan adalah doa. Udah paling
bener memang, kalau hal baik silakan di sebarin, hal buruk di kekep sendiri.
*disela- sela kuliah Pengembangan*
9 April, pesta demokrasi Indonesia baru saja dimulai. “Hampir” semua masyarakat turut serta memeriahkan pesta yang menghabiskan APBN hingga 21 T. Enggak heran kalau sampai segitu banyak, karena Indonesia bukan negara kecil.
Nih, saya udah 20tahun dan saya dapat undangan buat milih.
Kemarin, saya berkesempatan untuk ikut merasakan euforia
pemilu, menjadi saksi dari salah satu partai. Sebenarnya, saya diminta oleh
bapak untuk menggantikan beliau jadi panitia KPPS, tapi Alhamdulillah gak jadi
karena ternyata jadi KPPS itu riweh. Mulai dari pagi, hingga malam bahkan ada
yang sampai pagi lagi.
Nah, saya kemarin ada di TPS 10. Jam 7 upacara dimulai,
diawali dengan saling sapa dan salam sama semua panitia, setelah itu KPPS
mengucapkan sumpah. Setelah upacara selesai saya pulang dan balik lagi pukul
13.00. Di TPS saya, penghitungan dimulai pukul 14.00.
*Piss*
Seharusnya di jadwal
penghitungan dimulai pukul 13.00. Penghitungan dimulai. Diawali dengan membuka
kertas suara bagian DPD, lalu dilanjutkan DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten. Ketua KPPS agak lama juga membaca dan mensahkan satu kertas suara
karena terkadang kertas kurang terlihat kalau sudah dicoblos, terlalu kecil
nyoblosnya, dan sebagainya. Nah, menurut saya kok rasanya lebih afdol kalau di
contreng aja daripada dicoblos. Atau mungkin, panitia nya yang masih muda muda
yang matanya masih awas dan pemikirannya masih bersih jauh dari pikiran politis
yang dipilih menjadi panitia. Untuk mempercepat, akhirnya saksi yang bantuin
baca kertas suara. Selain ya lebih efisien dan akurat, serta cermat karena
masih belum mikirin anak istri. Soalnya, kemarin anggota KPPS di tempat saya
sebentar- sebentar hapenya bunyi, karena di telfon terus sama istrinya. Kayak
laporan gitu.
Selain itu, rasanya panitia pemilu kemarin juga kurang
kordinasi satu sama lain. Yah, paling tidak briefing sesama panitia untuk
membahas aturan aturan dalam pemilu. Soalnya, kemarin di tempat saya juga ada
eyel- eyelan masalah kertas suara yang dicoblos 2 kali di kotak yang sama namun
kolom berbeda, pertama masuk ke partai dan satunya di caleg, padahal yang kayak
gitu sudah jelas masuk di caleg, kalau misal coblosnya tiga kali, satu partai,
dan 2 caleg yang berbeda itu masuk ke partai. Wohoooo!. Yopo pak, bu -___-
Nah, atau mungkin lebih enak lagi kalau misalnya nulis
penghitungan suaranya pakai komputer, yang disambungkan ke lcd buat para saksi
dan masyarakat yang ingin ikut melihat, mungkin bakalan lebih cepat lagi,
karena gak harus ngebolak balik kertas dan yang paling penting nggak boros
kertas, ya minimal mengurangi lah ya.
Parahnya lagi, ini yang paling penting masak dari pagi saksi
ga dikasih apa- apa ? disediain air aja engga, apalagi jajanan, apalagi makaan.
Padahal KPPS enak banget menu makannya. Tapi, kayaknya itu cuma di TPS saya.
Wes, zonk benar lah kemarin itu. Tapi #rapopo.
Ya, semoga ya tahun depan lebih baik lagi sistemnya. Dan
saya udah gak mau lagi ikut kayak gituan, capeeeeeek.