Jalan- jalan menjelajah ke gunung atau bukit sebetulnya bukan hobi saya, tapi saya suka melihat panoramanya. Beberapa waktu yang lalu, tiba- tiba ada hasrat untuk naik salah satu bukit di lereng gunung Arjuna, setelah melihat eksplor Instagram.
Nama bukit ini adalah Budug Asu. Pertama kali saya tahu setelah sekian tahun berada di kota yang dikelilingi ring of fire ini. Panoramanya sungguh membuat saya pengen segera naik dan turut serta menikmatinya secara langsung.
Tapi, memang karena terbentur dengan waktu, yang tak bisa sebebas dulu, jadi saya harus atur jadwal libur supaya tidak menganggu urusan kantor.
Saya pribadi, meskipun punya hasrat yang besar akan traveling, tapi saya juga tetap mengutamakan mana yang menjadi kewajiban saya. Haha sok amat yak.
Ngomong- ngomong, nama Budug Asu sendiri muncul saat masa penjajahan Belanda, terdapat cukup banyak Asu (Anjing, dalam bahasa) yang terkena penyakit Budug atau lebih dikenal dengan scabies. Scabies ini merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau.
Sabtu sepulang kantor saya beranjak ke Malang dan menginap semalam dengan bantuan Airy Room Syariah di daerah Klojen. Cari yang super murah karena memang tidak digunakan untuk staycation. Hanya menginap singkat guna menghilangkan lelah perjalanan dan menyiapkan tenaga untuk mendaki ke Budug Asu esok harinya.
Hari Minggu pagi, tepat di jam 06.00, Ichal teman yang menemani saya mendaki ke Budug Asu, menjemput di gang Klojen. Perjalanan ini sebetulnya hanya perjalanan santai saja. Kami berangkat dengan santai, masih sempat untuk sarapan Soto kalau tidak salah di daerah Sanan, daerah yang punya UMKM keripik tempe dan terkenal di Malang.
Ohya, Budug Asu ini lokasinya ada di Lawang, tepatnya di atas Kebun Teh Wonosari. Wisata ini cukup terkenal karena memang sering digunakan untuk study banding ataupun berwisata dalam jumla yang besar. Seperti study tour Taman Kanak- Kanak ataupun reunian. Saya pernah datang ke Kebun Teh ini kurang lebih tiga kali saat masa kuliah. Namun, saat itu belum tahu kalau di atasnya ada bukit yang bisa didaki.
Baik, memasuki wilayah kebun teh kami ditarik tiket sjumlah 15K/ orang. Mungkin karena hari libur sih ya. Sebetulnya ada banyak referensi untuk sampai ke Budug Asu, tidak hanya lewat Kebun Teh Wonosari saja. Bisa juga lewat daerah Sumberawan, Singosari. Kami mengambil jalur Kebun Teh karena menurut kami, jalur ini yang paling aman karena lazim dilewati para pendaki yang akan naik ke Budug Asu.
Setelah memarkirkan kendaraan dan ibu penjaga parkirnya tahu kami akan naik ke Budug Asu, kami diperingatkan jika parkir di tempat ini akan tutup di jam 16.00. Karena saat itu masih pagi, sekitar pukul 08.00 lebih, kami mengira mungkin tidak akan sampai selama itu berada di atas dan akan segera kembali di waktu makan siang. Rupanya, perkiraan itu salah, besar.
Setelah bertanya kepada beberapa orang yang ada di parkiran, kira- kira berapa lama naik ke Budug Asu kalau dari lokasi kami saat itu, banyak yang sepakat naiknya mungkin hanya 1-1,5 jam saja. Baik, mendengar hal itu kami mantap untuk melangkah ke Budug Asu.
Saat berangkat, hanya beberapa kali saja kami berjumpa dengan orang yang naik sepeda gunung dan motor trail. Sedangkan yang jalan kaki hanya saya dan Ichal saja. Saat itu syukur alhamdulillah cuacanya cerah dan tidak terlalu panas. Mungkin karena malam sebelumnya Malang sempat diguyur hujan cukup lebat. Bahkan saat kami mulai mendaki, kabut masih terlihat di beberapa sisi.
Jujur banyak spot yang bagus yang bisa diabadikan di sepanjang perjalanan ke Budug Asu, apalagi kalau sudah ketemu deretan pohon pinus di sisi kiri dan kanan. Wah, rasanya seperti tidak mau beranjak, masih pengen foto lagi dan lagi. Tapi, karena goalnya saat itu pengen lihat puncak, kami berdua melanjutkan perjalanan yang sepertinya masih kurang sedikit lagi itu.
Ternyata benar, tidak jauh dari lokasi spot yang instagramable itu, terdapat 3 atau 4 gubug yang dijadikan sebagai loket dan beberapa lainnya sebagai warung. Di sini kami masih harus membayar kembali 10K/ orang sebelum melanjutkan perjalanan naik ke puncak.
Ada dua pilihan untuk bisa melihat puncak Budug Asu dari tempat ini, jalur kanan dan jalur kiri. Jika memilih jalur kanan perjalanannya singkat, jaraknya hanya 800 meter saja, namun treknya menanjak, bahkan tanjakkannya disebut dengan Tanjakan Dhemit. Saking horornya kali ya.
Nah kalau ambil kiri jaraknya sekitar 2 km, trek landai namun licin karena dilewati oleh para rider motor trail. Saya baru tahu juga saat jalan turun dari puncak. Akhirnya, dengan pertimbangan yang cepat, kami memilih naik ke puncak via jalur kanan, melewati Tanjakan Dhemit.
Baru setengah jalan menuju puncak, cuaca yang tadinya cerah mendadak mulai mendung. Waduh, gak bisa lihat apa- apa nih nanti di puncak kalau kayak gini. Tapi karena sudah kepalang tanggung, kami tetap melanjutkan perjalanan ke atas. Di sini, kami mulai berjumpa dengan banyak pendaki lainnya. Bahkan ada adik bayi yang digendong ayahnya dengan baby carrier. Saat mereka turun, di dedek terus menerus menangis. Entah karena apa..
Dua setengah jam kami melakukan pendakian dan akhirnya sampai di puncak, dan benar saja karena saat itu mendung otomatis kabut muncul di mana- mana. Haha. Baik, memang kalau jalan- jalan disaat musim hujan kita harus menurunkan ekspektasi yang terlalu tinggi. Beruntungnya saya sudah berdamai dengan segala ekspektasi yang terlalu tinggi. Jadi, gak kecewa- kecewa amat.
Saat itu saya, Ichal dan beberapa orang yang saat itu berada di puncak, menunggu cuaca kembali cerah. Namun, alam memang sulit sekali ditebak. Cukup lama kami menunggu , hanya sesekali saja matahari muncul dan tetap lebih banyak kembali mendung. Baiklah, karena sudah lewat jam makan siang akhirnya kami berdua memutuskan untuk segera turun, karena ingat kalau parkiran tutup jam 4 sore.
Saat itu kami turun bersama rombongan komunitas motor trail lewat jalur yang landai dan licin. Di sini beberapa kali teman- teman baru saya itu tergelincir dan jatuh. Tiap kali ada yang jatuh kami tertawa dan buru- buru mengulurkan tangan, tak jarang saat memberi pertolongan ada juga yang ikut terjatuh.
Saat itu, mungkin karena terlalu senang dan terhibur, giliran saya yang terjatuh dan mandi lumpur. saya tetap tertawa, karena akhirnya merasakan jatuh juga. Ternyata memang benar, jalan landai ini memang jauh dan licin. Setelah teman- teman dari komunitas motor trail sampai di parkirannya, kami berpisah. Melambaikan tangan dan saling berucap terima kasih.
Perjalanan saya dan Ichal untuk kembali masih menanti, kaki ini masih harus menapaki tanah hutan Budug Asu 2,5 jam lagi. Mungkin karena sangat sepi, kami sampai lost focus melewati jalur kembali ke Kebun Teh. Sebetulnya saya sudah merasa, kok jalannya jadi jauh ya? Kayaknya tadi gak lewatin ini deh, kok jadi lewat sih?. Suasana saat itu makin scary karena mendung makin gelap dan gluduk mulai terdengar.
Alhamdulillah kami berjumpa dengan bapak- bapak petani yang sama- sama akan kembali, kami mulai bertanya jalur untuk kembali ke Kebun Teh dan syukurlah bapak- bapak ini bersedia menunjukkan jalurnya. Saat itu pula, gerimis mulai turun. Dalam perjalanan, bapak petani ini mulai bercerita dan bilang kami beruntung karena sudah turun dari puncak. Karena kalau hujan turun, Budug Asu bisa seperti lautan. Airnya naik dan beberapa hari sebelumnya banyak yang terjebak di atas puncak karena bawah banjir.
Alhamdulillah..
Setelah berpisah dengan bapak baik hati tersebut, kami mulai memacu kaki supaya bisa segera kembali ke parkiran kebun teh Wonosari. Hujan tak lagi turun rintik- rintik, tapi mulai deras dan baju mulai basah. Kesalahan terbesar kami saat itu adalah meninggalkan jas hujan di kendaraan.
Akhirnya, sampai di area parkir dan kami menunggu hujan reda. Sayangnya tidak reda- reda sampai cukup lama. Padahal saat itu, saya harus kembali ke Kediri karena esok harinya masuk kerja. Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk pulang dalam keadaan hujan masih cukup deras. Ichal menyetir kendaraan dan memakai mantel, sedangkan saya yang di belakang hanya mengandalkan jaket yang sebetulnya sudah setengah basah.
Saat perjalanan pulang, mungkin dikarenakan faktor terburu- buru dan kondisi jalan yang licin, sedangkan Ichal juga diburu waktu supaya saya tidak kemalaman di jalan, akhirnya membuat dia memacu kendaraan dengan lumayan kencang. Tepat di depan puskesmas Ardimulyo Singosari, kami berdua jatuh karena kendaraan depan ngerem mendadak dan membuat Ichal kaget. Bisa ditebak, kami oleng ke kanan dan sempat terseret beberapa meter.
Untuk selanjutnya sepertinya tidak etis untuk diceritakan ya. Beruntung, masih sama- sama diberi kesempatan menghirup napas sekali lagi. Sebagai pelajaran, jangan memaksakan jika kondisi tidak memungkinan, karena selamat itu nomor satu.