Haha.. Ini sebenarnya sedikit agak aneh buat saya sendiri, Silviana mulai menulis menegenai topik yang bagi sebagian orang adalah hal sensitif. Kategori #MenujuDewasa ini muncul karena saya pikir ide memang harus dituliskan, paling tidak suatu saat nanti ketika saya sudah sudah melewati masa-remaja-dewasa ini saya bisa baca ulang lagi. Jadi topik ini muncul berdasarkan pengalaman pribadi, cerita saya sendiri.
Rasanya kok udah lama aja gak curhat-curhatan di blog. Jadilah kategori ini akan muncul hanya 1 kali setiap hari Minggu, tulisannya gak akan panjang. Bisa jadi hanya tulisan random aja dan ini akan menjadi penyegaran untuk tulisan jalan-jalan saya.
Sejak memasuki bulan April lebih dari 10 undangan nikah yang datang. Baik undangan teman semasa sekolah ataupun teman komunitas. Bukan, ini bukan tulisan kebaperan saya sama temen-temen yang sudah menikah terlebih dulu. Buat saya, menikah itu bukanlah sebuah kompetisi, yang mana harus berlomba menuju finish. Tapi undangan- undangan ini sejenak membuat diri ini sadar, ternyata anak angkatan sekolah saya sudah pada gede. Saya dan mereka nyatanya sudah masuk dalam kategori dewasa secara usia.
Saya pribadi entah kenapa gak pernah worry sama pernikahan, sampai sekarang. Mungkin karena role model di sekitar lingkungan sekitar yang mengajarkan demikian. Untuk masalah usia memang benar sudah matang, apalagi jika dilihat dari sisi kesehatan cewek memang idealnya more less 25 tahunan. Saya sendiri belum sampai di titik usia itu, tapi memang sejak dulu juga gak pernah ada pikiran untuk menikah di bawah usia 25 tahun. Intinya nikah muda tidak pernah ada dalam pikiran saya, sama sekali. Hanya saja saya bahagia kalau lihat teman yang berani ambil keputusan tuk menikah. Nah kalau baper lihat temen nikah? Tentu pernah, hei i am human too, geng.
As you know, saya sekarang belum punya kerjaan tetap dan ya masinh pengen jalan- jalan sendiri.
Banyak yang bilang saya ini harusnya sudah pantas punya anak, apalagi kalau dilihat teman sepermainan saya rata-rata sudah naik jenjang rumah tangga. Tapi untungnya sih saya woles aja, sampai pada akhirnya kewolesan itu jadi bumerang buat diri sendiri. Saya dikenalkan dengan anak teman ibu. Iya geng, saya udah mulai dipilihkan pendamping hidup.
Hal ini bermula saat saya baru beberapa minggu pulang dari Batam. Sejujurnya kepulangan ini bukan karena saya mau nikah atau sejenisnya, tapi karena saya dapat kesempatan untuk mencoba berkarir di Surabaya. Setelah berpikir cukup lama maka saya pilih untuk pulang ke Jawa. Saya pikir bisa lebih dekat dengan orang tua dan bisa sering pulang ke rumah. Mau bagaimanapun buat saya Jawa adalah rumah yang paling nyaman untuk menghabiskan masa tua. Eak.
Kejadiannya cukup singkat, intinya teman ibu saya ingin mengenalkan anaknya untuk saya. Tidak sampai sehari si-dia- yang dimaksud datang ke rumah karena memang mengejar waktu untuk kembali ke perantauan esok harinya. Pertemuannya juga cukup singkat, saya sendiri hanya menemuinya untuk salaman dan nothing special karena memang sejak awal saya tidak berminat dengan acara jodoh-jodohan. Parahnya saya gak tahu namanya
"Etapi itu kan hanya kenalan bukan perjodohan?"
"Tujuan dari kenalan apa kalau udah bawa-bawa orang tua?"
"mmmm. Iya sih"
"................."
Tak berselang lama si dia dapat kontak PIN BBM saya, kami chatting basa-basi. Saya orangnya emang pemilih kalau sama laki-laki, cuma yang enak diajak ngobrol dan klik aja yang bakalan bisa deket. Baik itu untuk temen ataupun hubungan asmara. Ciyailah. Tapi yang namanya gak klik sejak awal ya emang gak klik, ternyata bener gak sampai dua minggu akhirnya saya memutuskan untuk ganti pin BBM. Buat saya ini lebih elegan dalam penolakan dibanding saya harus delete contactnya.
Masalah pertama saya anggap selesai, tapi ternyata tidak benar-benar selesai. Lingkungan pertemanan ibu yang knowing about that seringkali menanyakan kepada saya mengenai kelanjutan pertemuan tidak penting itu. Jadilah gara-gara knowing every particular object itu saya jadi malas kalau ketemu orang. Haha.
Lalu banyak juga yang sudah menanyakan kapan saya nikah. Parahnya saat saya jawab "Insya Allah kapan-kapan". Jawabannya selalu di luar dugaan saya. Seperti misalnya;
"Gak nikah-nikah nanti jadi perawan tua!"
"Ngapain nunggu lama-lama, cepet nikah aja nanti susah punya anak kalau terlalu tua"
Mereka nggak tahu aja alasan terbesarnya adalah karena hingga saat ini belum ada jodohnya dan belum ketemu orang yang klik aja. Jadi beneran nih udah waktunya nikah? Meskipun belum ada jodohnya. Padahal kalau jokes Jawa itu nikah syaratnya cuma kalih, kalih sinten.
- Silviana
Rasanya kok udah lama aja gak curhat-curhatan di blog. Jadilah kategori ini akan muncul hanya 1 kali setiap hari Minggu, tulisannya gak akan panjang. Bisa jadi hanya tulisan random aja dan ini akan menjadi penyegaran untuk tulisan jalan-jalan saya.
Sejak memasuki bulan April lebih dari 10 undangan nikah yang datang. Baik undangan teman semasa sekolah ataupun teman komunitas. Bukan, ini bukan tulisan kebaperan saya sama temen-temen yang sudah menikah terlebih dulu. Buat saya, menikah itu bukanlah sebuah kompetisi, yang mana harus berlomba menuju finish. Tapi undangan- undangan ini sejenak membuat diri ini sadar, ternyata anak angkatan sekolah saya sudah pada gede. Saya dan mereka nyatanya sudah masuk dalam kategori dewasa secara usia.
Saya pribadi entah kenapa gak pernah worry sama pernikahan, sampai sekarang. Mungkin karena role model di sekitar lingkungan sekitar yang mengajarkan demikian. Untuk masalah usia memang benar sudah matang, apalagi jika dilihat dari sisi kesehatan cewek memang idealnya more less 25 tahunan. Saya sendiri belum sampai di titik usia itu, tapi memang sejak dulu juga gak pernah ada pikiran untuk menikah di bawah usia 25 tahun. Intinya nikah muda tidak pernah ada dalam pikiran saya, sama sekali. Hanya saja saya bahagia kalau lihat teman yang berani ambil keputusan tuk menikah. Nah kalau baper lihat temen nikah? Tentu pernah, hei i am human too, geng.
As you know, saya sekarang belum punya kerjaan tetap dan ya masinh pengen jalan- jalan sendiri.
Banyak yang bilang saya ini harusnya sudah pantas punya anak, apalagi kalau dilihat teman sepermainan saya rata-rata sudah naik jenjang rumah tangga. Tapi untungnya sih saya woles aja, sampai pada akhirnya kewolesan itu jadi bumerang buat diri sendiri. Saya dikenalkan dengan anak teman ibu. Iya geng, saya udah mulai dipilihkan pendamping hidup.
Hal ini bermula saat saya baru beberapa minggu pulang dari Batam. Sejujurnya kepulangan ini bukan karena saya mau nikah atau sejenisnya, tapi karena saya dapat kesempatan untuk mencoba berkarir di Surabaya. Setelah berpikir cukup lama maka saya pilih untuk pulang ke Jawa. Saya pikir bisa lebih dekat dengan orang tua dan bisa sering pulang ke rumah. Mau bagaimanapun buat saya Jawa adalah rumah yang paling nyaman untuk menghabiskan masa tua. Eak.
Kejadiannya cukup singkat, intinya teman ibu saya ingin mengenalkan anaknya untuk saya. Tidak sampai sehari si-dia- yang dimaksud datang ke rumah karena memang mengejar waktu untuk kembali ke perantauan esok harinya. Pertemuannya juga cukup singkat, saya sendiri hanya menemuinya untuk salaman dan nothing special karena memang sejak awal saya tidak berminat dengan acara jodoh-jodohan. Parahnya saya gak tahu namanya
"Etapi itu kan hanya kenalan bukan perjodohan?"
"Tujuan dari kenalan apa kalau udah bawa-bawa orang tua?"
"mmmm. Iya sih"
"................."
Tak berselang lama si dia dapat kontak PIN BBM saya, kami chatting basa-basi. Saya orangnya emang pemilih kalau sama laki-laki, cuma yang enak diajak ngobrol dan klik aja yang bakalan bisa deket. Baik itu untuk temen ataupun hubungan asmara. Ciyailah. Tapi yang namanya gak klik sejak awal ya emang gak klik, ternyata bener gak sampai dua minggu akhirnya saya memutuskan untuk ganti pin BBM. Buat saya ini lebih elegan dalam penolakan dibanding saya harus delete contactnya.
Masalah pertama saya anggap selesai, tapi ternyata tidak benar-benar selesai. Lingkungan pertemanan ibu yang knowing about that seringkali menanyakan kepada saya mengenai kelanjutan pertemuan tidak penting itu. Jadilah gara-gara knowing every particular object itu saya jadi malas kalau ketemu orang. Haha.
Lalu banyak juga yang sudah menanyakan kapan saya nikah. Parahnya saat saya jawab "Insya Allah kapan-kapan". Jawabannya selalu di luar dugaan saya. Seperti misalnya;
"Gak nikah-nikah nanti jadi perawan tua!"
"Ngapain nunggu lama-lama, cepet nikah aja nanti susah punya anak kalau terlalu tua"
Mereka nggak tahu aja alasan terbesarnya adalah karena hingga saat ini belum ada jodohnya dan belum ketemu orang yang klik aja. Jadi beneran nih udah waktunya nikah? Meskipun belum ada jodohnya. Padahal kalau jokes Jawa itu nikah syaratnya cuma kalih, kalih sinten.
- Silviana